Saturday, November 7, 2015

BUKTI PENYIMPANGAN AKIDAH WAHHABI-SALAFI..!!!

Sedikit saya buktikan bahwa akidah wahhabi bukanlah akidah yang dibawa oleh Rasulullah Sw, ajaran wahhabi-salafi bukanlah ajaran Islam. Mereka sangat jauh menyempal dari ajaran Ahlus sunnah waljama'ah, sangat jauh meluncur bagaikan anak panah yang meluncur dari busurnya dan tak kan kembali lagi.

Dalam kesempatan ini, saya tidak menampilkan puluhan bukti yang ada dalam dokumen saya, tapi cukup sedikit ini akan menjadi bukti penyimpangan akidah wahhabi dari akidah ulama salaf shaleh yang sesungguhnya.

Semoga wahhabi dan para korban doktrin wahhabi mau merenungi hal ini, buka hati kalian, tundukkan sayap kesombongan kalian, mohonlah petunjuk kepada-Nya yang menciptakan petunjuk kebenaran, semoga data dan bukti ini mampu membuka kesadaran hati kalian untuk memikirkan kembali ajaran yang selama ini kalian pegang dan taqlidi...semoga sedikit mmebuka pencerahan untuk kalian, dan semoga Allah memberi petunjuk kebenaran untuk aku dan kalian..

Ibnu Utsaimin (salah satu ulama wahabi dan anggota fatwa Saudi) mengatakan dalam kitab Syarh Aqidah Thahawiyyahnya berikut :

" Sesungguhnya tidak mungkin terjadi kontradiksi antara al-Quran dan Hadits Nabi yang sah selamanya. Karena Quran dan Hadits adalah Haq / Kebenaran dan Kebenaran tidak akan terjadi Kontradiksi, karena semua dari Allah sedangkan apa yang dari Allah tidak akan terjadi kontradiksi..." (Syarh Aqidah Thahawiyyah, Ibnu Ustaimin : 89)
Komenyat Shofiyyah : Saya setuju dalam hal ini dengan Ibnu Utsaimin, mungkin leih saya perjelas yaitu bahwa Akidah Islam tidak akan terjadi kontradiksi di manapun dan kapanpun, karena ini menyangkut masalah yang prinsipil di mana setiap muslim akidahnya harus sama tidak boleh berbeda atu pun berselisih. Jika berselisih, jelas yang menyelisihi itu yang salah. Sedangkan dalam masalah Furu' (bukan akidah) maka Allah mentolerir adanya perpedaan pendapat. Sebab di masa sahabat nabi pun banyak terjadi perbedaan pendapat, dan hal ini adalah rahmat bagi umat Islam sendiri.
Oke, sekarang kita masuk kepada pembuktian hal ini. Jika Akidah Wahhabi-salafi itu benar sesuai ajaran Nabi dan para sahabatnya, maka mustahil terjadi kontradiksi karna KEBENARAN tidak akan kontradiksi. Namun ternyata, ironis dan na'as sekali, saya menemukan ada sekitar 100 lebih kontradiksi wahabi dalam akidah di antara kalangan mereka sendiri. Yang jika saya beberkan semuanya niscaya dan pasti wahabi akan bingung mana yang benar dan mana yang salah. Mungkinkah akidah Nabi itu kontardiksi?? mungkinkah al-Quran itu isisnya saling kontradiksi?? Jawabannya : Tidak sama sekali. Tapi pemikiran merekalah yang sesat lagi menyesatkan. 
Kita buktikan :
Syaikh Shaleh al-Fauzan menyatakan bahwa hadits Allah itu duduk bersama Nabi Muhammad di Arsy itu sahih meskipun sulit untuk diindra. Artinya ia setuju dengan akidah yang menafsirkan ISTAWA dengan JALASA (duduk). Lihat kitab Ta'liq al-Mukhtashar 'ala Qashidah an-Nuuniyyah halaman 453 ketika ia menta'liq qasidah Ibnul Qayyim berikut :
Cover kitab :
Arti yang bergaris merah :
Sesungguhnya Allah mendudukkan Muhammad bersama di atas Arsy....Ini adalah hadits sahih walaupun sulit untuk dipikirakan sifat duduknya, maka tidaklah mengapa. (Ta'liq al-Mukhtashar 'ala Qashidah an-Nuuniyyah halaman 453).
Dalam kitab yang lainnya, Shaleh al-Fauzan mengatakan :
Cover kitab :
" Ar-Rahman beristiwa di atas Arsy " Apakah beristiwa itu bukan bermakna duduk ?? tidaklah beristiwa melainkan duduk. Ini ucapan (istiwa adalah bermakna duduk) adalah sahih tidak ada debu sedikit pun (sangat jelas) ". (Qudum kitab al-Jihad, karya syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi dan ditaqliq Shaleh al-Fauzan halaman : 101) 
Dalam kitab ini, syaikh Abdul Aziz dan Syaikh Shaleh al-Fauzan sepakat bahwa ISTIWA itu bermakna DUDUK. 
Tapi, sekali lagi, tapi......
Di kitabnya yang lain justru Shaleh al-Fauzan menyatakan bahwa tafsir ISTIWA dengan DUDUK adalah TAFSIR YANG BATHIL...perhatikan :
Cover kitab :



" Apakah Istawa bermakna Jalasa / Duduk itu termasuk takwil ? Shaleh al-Fauzan menjawab : " Ini Bathil, karena tidak ada sama sekali riwayat yang menafsirkan ISTAWA dengan JALASA (duduk) dan kami tidak mentetapkan sesuatu pun tentang Istawa ". (Lum'ah al-I'tiqad : 315)

Lihat pembaca, bagaimana syaikh Shaleh al-Fauzan yang diawal mengakui ISTAWA dengan makna JALASA (DUDUK), tapi di kitabnya yang lainj justru dia mengatakan memaknai ISTIWA dengan JULUS (DUDUK) adalah BATHIL. Subhanallah, bagaimana bisa satu pemahaman saling kontradiksi dari satu orang saja ?? apakah syaikh ibn Fauzan ini ketika berfatwa atau berpendapat tidak berpikir secara jernih atau sedang mabuk ?? saya yakin para pengikut syaikh Shaleh al-Fauzan ini dibuat bingung dengan ke plin-planan akidahnya.

Di sisi lain, ada ulama wahabi lainnya yang juga menyatakn bahwa hadits yang menunjukkan Allah JALASA / DUDUK di Arsy adalah maudhu' / palsu dan kedsutaan atas nama Nabi Saw. Yaitu syaik Albani seorang syaikh yang diklaim wahabi sbgai ahli hadits zaman skrg (padahal saya meneliti bnyak sekali mufradat / kosakata yang diartikan salah oleh Albani dalam bebrapa kitabnya ketika mengartikan sebuah isim yang gharib, suatu saat saya akan membahasnya). Perhatikan pendapat Albani berikut :

" Yang jelas, bahwasanya perhatikan dalam matannya dari kemungkaran yang ada, yaitu menisbatkan JULUS / DUDUK kepada Allah....Matan hadits itu mengandung KEPALSUAN ". (Maushu'ah al-Allamah al-Imam Mujaddid al-Ashr: Albani : 343).

Perhatikan wahai pembaca khususnya para wahabi-salafi, lihat ulama kalian saling bertolak belakang dalam masalah akidah yang merupakan pondasi Islam dan amal !! apakah AKIDAH ISLAM itu kontradiksi menurut kalian ?? Mana yang benar?? kenapa terjadi kontradiksi di kalangan wahabi sendiri dalam masalah akidah ??

Benar ucapan Ibnu Utsamin di awal bahwa " Sesungguhnya tidak mungkin terjadi kontradiksi antara al-Quran dan Hadits Nabi yang sah selamanya. Karena Quran dan Hadits adalah Haq / Kebenaran dan Kebenaran tidak akan terjadi Kontradiksi, karena semua dari Allah sedangkan apa yang dari Allah tidak akan terjadi kontradiksi..." (Syarh Aqidah Thahawiyyah, Ibnu Ustaimin : 89)

Maka dengan ucapan ini, benar lah bahwa akidah wahhabi-salafi tidaklah benar karena saling kontradiksi dan bertolak belakang di antara mereka sendiri. Ini satu contoh yang baru saya tampilkan, masih ada seratus konradiksi lainnya yang saya simpan di dokumen saya. Terlebih masalah furu' / fiqih sangat banyak kontradiksi di antara mereka, bagi saya wajar kalau masalah furu' itu ada perbedaan pendapat, tapi angat tidak wajar dan tidak benar jika perbedaan pendapat itu dibumbui kata-kata membid'ahkan dan menyesatkan bahkan kata-kata binatang sesama kalangan mereka sendiri...

PENYIMPANGAN WAHABI TENTANG BID'AH HASANAH TERKAIT ATSAR IMAM SYAFI'I

Salah satu dari sekian banyak anomaly (keganjilan, penyimpangan) wahabi adalah sikap taqlid mereka terhadap ulama mereka sendiri yang ujung-ujungnya sama saja dengan fanatisme madzhab yang biasa mereka cela. Aneh tapi nyata; mereka selalu lantang berkata anti taqlid malah taqlid juga sama ulamanya. Sebagian dari mereka ada yang mengaku bermadzhab Hambali, sebagian lagi malah menafikan keberadaan madzhab dan seolah membuat madzhab baru, hanya sayangnya 'tidak laku'. Tidak jarang sikap mereka ini ditutup-tutupi dengan gaya sok ilmiah. Dalil-dalil bertaburan; ada dalil yang melenceng bukan pada tempatnya, ada pula dalil yang benar penempatannya (dengan bahasan yang dimaksud) namun tetap melenceng pemahamannya. Dan sering juga kita temukan dalil yang mereka tujukan untuk 'menasehati' orang-orang yang diluar golongannya tapi malah lebih cocok buat mereka sendiri - sebagai golongan sempalan pemecah belah umat, sebagai 'pemaksa' persamaan ideologi.
Ada contoh sederhana yang menggambarkan anomaly salafi palsu alias wahabi ini, yaitu soal pernyataan salah satu pengikut wahabi - kalau Imam Syafi’iy tidak pernah membagi bid’ah ke dalam bid’ah hasanah dan bid’ah dhalalah (?). Ternyata, pengikut wahabi ini hanya taklid kepada Syaikh salafy Ali Al Halaby dan Salim Al Hilali. Syaikh Ali Al Halaby menyatakan kalau atsar Imam Syafi’i tersebut diriwayatkan oleh perawi yang majhul [‘Ilmu Ushuulil-Bida’ hal 121]. Seperti biasa, tulisan pengikut wahabi itu kemudian ramai dikutip atau 'dikupipes' (sering di copy paste) oleh banyak pengikut 'wahabiers' lainnya. Silahkan saja pembaca 'search' ala google untuk menemukan tulisan para salafiyun yang dimaksud.
Pernyataan Syaikh Ali Al Halaby tentang atsar Imam Syafi’i  tersebut dhaif, karena dia beralasan bahwa ada perawi yang majhul. Ini adalah mengada-ada dan hanya bisa mengecoh kaum salafy wahabi yang gemar bertaklid (terbukti 'kan, bahwa mereka taklid juga ?). Padahal, atsar Imam Syafi’i tersebut shahih tanpa keraguan !
حدثنا أبو بكر الآجري حدثنا عبد الله بن محمد العطشي حدثنا إبراهيم بن الجنيد حدثنا حرملة بن يحيى قال سمعت محمد بن إدريس الشافعي يقول البدعة بدعتان، بدعة محمودة، وبدعة مذمومة. فما وافق السنة فهو محمود، وما خالف السنة فهو مذموم واحتج بقول عمر بن الخطاب في قيام رمضان نعمت البدعة هي
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Al Ajurriy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad Al ‘Athsyiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Junaid yang berkata telah menceritakan kepada kami Harmalah bin Yahya yang berkata aku mendengar Muhammad bin Idris Asy Syafi’i berkata “bid’ah itu ada dua, bid’ah mahmudah [terpuji] dan bid’ah madzmu’ah [tercela]. Apa saja yang bersesuaian dengan sunnah maka ia terpuji dan apa saja yang bertentangan dengan sunnah maka ia tercela. Dan ia [syafi’i] berhujjah dengan perkataan Umar bin Khattab tentang shalat malam di bulan ramadhan “ini adalah sebaik-baik bid’ah” [Hilyatul Auliya Abu Nu’aim 9/113]
Atsar ini sanadnya hasan, para perawinya terpercaya kecuali Abdullah bin Muhammad Al ‘Athasyiy, dia seorang yang 'shaduq hasanul hadits'. Tidak ada yang mencacatnya dan telah meriwayatkan darinya sekumpulan perawi tsiqat.
  • Abu Bakar Al Ajurry atau Muhammad bin Husain bin ‘Abdullah Al Baghdadi penulis kitab Asy Syari’ah adalah seorang yang tsiqat. Adz Dzahabi menyebutnya Al Imam Al Muhaddis Al Qudwah, Al Khatib berkata “tsiqat” [Tadzkirah Al Huffazh 12/40 no 888].
  • Abdullah bin Muhammad Al ‘Athasyiy seorang yang shaduq hasanul hadis. Al Khatib telah menyebutkan biografinya dalam Tarikh Baghdad tanpa menyebutkan jarh dan ta’dil tetapi disebutkan bahwa telah meriwayatkan darinya Abu Bakar Muhammad bin Husain Al Ajurry, Ibnu Syahin dan Yusuf bin Umar Al Qawwas [Tarikh Baghdad 10/115-116 no 5239]. Al Ajurri adalah seorang yang tsiqat sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Ibnu Syahin atau Umar bin Ahmad Abu Hafsh disebutkan oleh Al Khatib kalau ia seorang yang tsiqat [Tarikh Baghdad 11/264 no 6028]. Yusuf bin Umar Al Qawwas disebutkan oleh Adz Dzahabi kalau ia adalah seorang Imam Muhaddis yang tsiqat [As Siyar 16/474 no 351]. Sejumlah perawi tsiqat telah meriwayatkan hadisnya dan tidak ada satupun yang menjarah atau mencacatnya maka kedudukan hadisnya adalah hasan.
  • Ibrahim bin Junaid adalah Ibrahim bin ‘Abdullah bin Junaid, biografinya disebutkan oleh Al Khatib dan ia menyatakan Ibrahim bin Abdullah bin Junaid tsiqat [Tarikh Baghdad 6/119 no 3150].
  • Harmalah bin Yahya adalah seorang yang tsiqat. Al Uqaili menyatakan ia tsiqat, Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 2 no 426]. Ibnu Hajar menyatakan ia shaduq [At Taqrib 1/195].
Selain atsar riwayat Abu Nu’aim di atas perkataan Imam Syafi’i juga telah diriwayatkan dengan sanad yang shahih oleh Baihaqi dalam Manaqib Asy Syafi’iy dan Madkhal Ila Sunan Al Kubra dengan jalan dari Muhammad bin Musa bin Fadhl Abu Sa’id bin Abi Amru dari Abul Abbas Al Asham dari Rabi’ bin Sulaiman dari Imam Syafi’iy.
أخبرنا أبو سعيد بن أبي عمرو ثنا أبو العباس محمد بن يعقوب ثنا الربيع بن سليمان قال قال الشافعي رضي الله عنه المحدثات من الأمور ضربان أحدهما ما أحدث يخالف كتاباً أو سنة أو أثراً أو إجماعاً فهذه لبدعة الضلالة والثانية ما أحدث من الخير لا خلاف فيه لواحد من هذا فهذه محدثة غير مذمومة
Telah mengabarkan kepada kami Abu Sa’id bin Abi Amru yang berkata telah menceritakan kepada kami Abul Abbas Muhammad bin Ya’qub yang berkata telah menceritakan kepada kami Rabi’ bin Sulaiman yang berkata Syafii berkata “perkara-perkara baru yang diada-adakan itu ada dua, pertama yaitu apa-apa saja yang bertentangan dengan kitab Allah atau sunnah atau atsar atau ijma’ maka ini bid’ah dhalalah. Dan yang kedua yaitu apa-apa saja yang di dalamnya kebaikan tidak bertentangan dengan apa saja yang telah disebutkan [kitab Allah, sunah, atsar dan ijma’] maka inilah bid’ah yang tidak tercela [Madkhal Ila Sunan Kubra 1/206].
Atsar di atas juga diriwayatkan oleh Baihaqi dalam Manaqib Asy Syafi’i 1/468-469 dengan sanad yang sama yaitu dari Muhammad bin Musa bin Fadhl dari Al Asham dari Rabi’ dari Imam Syafi’iy. Syaikh Salim Al Hilali dan Syaikh Ali Al Halabi mencacatkan atsar ini karena menurut mereka Muhammad bin Musa bin Fadhl seorang yang majhul tidak ditemukan biografinya. Pernyataan kedua ulama salafy ini jelas salah besar, atsar di atas shahih dan berikut keterangan mengenai para perawinya :
  • Abu Sa’id bin Abi Amru adalah Muhammad bin Musa bin Fadhl Ash Shayrafiy seorang Syaikh yang tsiqat. Adz Dzahabi telah menyebutkan biografinya dalam As Siyar seraya berkata “Syaikh tsiqat ma’mun” [As Siyar 17/350 no 218]. As Safadi juga menyebutkan biografinya dan menyatakan ia tsiqat [Al Wafi 5/59]. Disebutkan kalau ia mendengar hadis dari Abul Abbas Al Asham dan ia telah dikenal sebagai Syaikh [gurunya] Baihaqi [Mausu’ah Rijal Sunan Baihaqi no 154]. Jadi sungguh aneh sekali kalau dua ulama besar salafy mengaku tidak menemukan biografinya.
  • Abul Abbas Muhammad bin Ya’qub bin Yusuf yang dikenal dengan Al ‘Asham. Adz Dzahabi menyebutnya Al Imam Al Muhaddis. Al Hakim menukil dari Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah, Abu Nu’aim bin Adiy dan Ibnu Abi Hatim bahwa Al ‘Asham seorang yang tsiqat [As Siyar 15/452-458 no 258].
  • Rabi’ bin Sulaiman adalah seorang yang tsiqat sahabat imam Syafi’i. Dia adalah salah satu Syaikh [gurunya] Nasa’i dimana Nasa’i berkata “tidak ada masalah padanya”. Ibnu Yunus dan Al Khatib menyatakan ia tsiqat. Ibnu Abi Hatim menyatakan ia shaduq tsiqat. Abu Hatim berkata “shaduq”. Al Khalili berkata “disepakati tsiqat” [At Tahdzib juz 3 no 473]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/294].
Jadi atsar Imam Syafi’i tentang bid’ah hasanah adalah shahih tanpa adanya keraguan dan ini membuktikan kejahilan salafy wahabi dan pengikutnya yang gemar bertaklid tanpa meneliti apakah yang dinyatakan oleh ulama mereka itu benar atau tidak. Beberapa situs salafy mengalami kebingungan soal bid’ah hasanah, mereka berkata kalau memang ada bid’ah hasanah maka bagaimanakah batasannya?. Aneh, padahal telah jelas sekali batasan yang diberikan Imam Syafi’i, jika perkara baru itu sesuai dengan kitabullah dan Sunah Nabiyullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam maka itulah bid’ah hasanah.
Pengikut salafy juga berdalil dengan hadis Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang mengatakan bahwa setiap bid’ah itu sesat. Cara pendalilan salafy ini tidak benar karena bid’ah yang dimaksud dalam hadis Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tersebut adalah bid’ah yang bersifat syar’i yaitu yang tidak memiliki landasan hukum dari kitabullah dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sedangkan yang memiliki landasan hukum dari kitabullah dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam maka bid’ah seperti ini bukan bid’ah syar’i tetapi dikembalikan kepada makna bid’ah lughawi [secara bahasa]. Inilah yang disebut Imam Syafi’i dengan bid’ah yang terpuji atau bid’ah hasanah.
Aneh bin ajaib, salafy dan pengikutnya tidak pernah sadar diri. Justru merekalah yang kebingungan atau mengalami dilema dalam menyikapi berbagai hal baru atau bid’ah yang dibuat oleh para sahabat. Seperti misalnya pembukuan Al Qur’an yang jelas-jelas dikatakan oleh Abu Bakar ra dan Umar ra kalau hal itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu Aalaihi Wasallam. Atau pelarangan haji tamattu oleh Umar, atau adzan kedua dalam shalat jum’at oleh Utsman bin ‘Affan. Kalau memang semua bid’ah itu sesat maka apa yang akan mereka katakan kepada ketiga sahabat Nabi Shallallalhu ‘Alaihi Wasallam

Wednesday, September 24, 2014

PENYIMPANGAN WAHABI SALAFI

Inilah Wahhabi. Bila ulama membuka AIB KEJAHATANNYA mereka akan bertindak NEKAT dengan merubah kitab-kitab ulama Islam.

Wahhabi Mengubah Kitab Tafsir Hasyiah As-Showi
Tafsir Al-Jalalain Juz 3 QS. Fathir: 7 hal. 78 Penerbit: Darr Ihya at-Turats Al-Arabi Cetakan pertama tahun 1419 H atau hal. 379 Penerbit: Al-Haramain.

DI BAWAH ADALAH PERNYATAAN SYEIKH AS-SHOWI DARI KITAB ASLINYA MENGENAI WAHABI DAN BELIAU MENSIFATKAN BAHWA WAHABI SEBAGAI KHAWARIJ YANG TERBIT DI TANAH HIJAZ. BELIAU MENOLAK WAHABI, BAHKAN MENYATAKAN WAHABI SEBAGAI SETAN KERANA MENGHALALKAN DARAH UMAT ISLAM, MEMBUNUH UMAT ISLAM DAN MERAMPAS SERTA MENGHALALKAN RAMPASAN HARTA TERHADAP UMAT ISLAM. LIHAT PADA KALIMAT SELANJUTNYA YANG SUDAH DI WARNAI.

Di dalam tafsir tersebut jelas tertulis kalimat seperti ini:

هذه الاية تزلة فى الخوارج الذين يحرفون تأويل الكتاب والسنة, ويستحلون بذالك دماء المسلمين واموالهم, لما هو مشاهد ألان فى نظائرهم وهم فرقة بأرض حجاز يقال لهم الوهابية يحسبون انهم على شيئ ألا انهم هم الكاذبون, استحوذلهم الشيطان, فأنساهم ذكر الله, أولئك حزب الشيطان, ألا ان حزب الشيطان هم الخاسرون, نسأل الله الكريم أن يقطع دابرهم.

“Ini ayat turun berkenaan dengan khawarij yg merubah takwil al-Qur’an dan as-Sunnah, menghalalkan darah umat islam dan hartanya, jika mau mengetahui mereka sekarang yaitu mereka kelompok yang hidup di BUMI HIJAZ [ARAB SAUDI] mereka disebut WAHABIYAH, mereka mengira sesungguhnya mereka lah yang berada pada sesuatu yg benar [al-Qur’an dan as-Sunnah], ketahuilah sesungguhnya mereka adalah PARA PENDUSTA. Mereka telah digelincirkan setan, maka mereka lupa mengingat Allah, mereka adalah tentara setan, dan ketahuilah bahwa tentara setan adalah mereka org2 yang merugi. Kami memohon perlindungan kepada Allah yg Maha Mulia jika berada dibelakang mereka [Wahhabi].”

Akan tetapi kaum KHAWARIJ ini bertindak nekat dengan mendistorsi kitab tersebut dgn menghilangkan kalimat ini:

, لما هو مشاهد ألان فى نظائرهم وهم فرقة بأرض حجاز يقال لهم الوهابية يحسبون انهم على شيئ ألا انهم هم الكاذبون

“jika mau mengetahui mereka sekarang adalah yaitu mereka kelompok yang hidup di BUMI HIJAZ [ARAB SAUDI] mereka disebut WAHABIYAH, mereka mengira sesungguhnya mereka lah yang berada pada sesuatu yg benar [al-Qur’an dan as-Sunnah],ketahuilah sesungguhnya mereka adalah PARA PENDUSTA.”


Kaum Salafi Wahabi sangat terkenal memiliki yel-yel: “Kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah”. Mereka mengajak umat untuk kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah. Kita muslimin semua tahu kenapa demikian? Karena, sebagai muslim sangat meyakini 100% tentunya bahwa al-Qur’an dan Sunnah merupakan sumber ajaran Islam yang utama yang diwariskan oleh Rasulullah Saw, sehingga siapa saja yang menjadikan keduanya sebagai pedoman, maka ia telah berpegang kepada ajaran Islam yang murni dan berarti ia selamat dari kesesatan. Bukankah Rasulullah Saw. menyuruh yang sedemikian itu kepada umatnya?
Sampai di sini, anda yang merasa terpelajar mungkin bertanya-tanya dalam hati, “Bagaimana Ibnu Taimiyah atau Muhammad bin Abdul Wahab yang menyerukan ‘kebenaran yang edeal’ berdasar al Qur’an dan al Sunnah masih dianggap sesat oleh para ulama di zamannya? Mengapa pula paham Salafi Wahabi di zaman sekarang yang merujuk semua ajarannya kepada al-Qur’an dan Sunnah juga dianggap menyimpang bahkan divonis sesat oleh para Ulama?
Mari kita perhatikan permasalahan ini secara komprehensif, agar terlihat “sumber masalah” yang ada pada sikap yang terlihat sangat bagus dan ideal tersebut.
1. Prinsip “Kembali kepada al- Qur’an dan Sunnah” adalah benar secara teoritis, dan sangat ideal bagi setiap orang yang mengaku beragama Islam. Tetapi yang harus diperhatikan adalah, apa yang benar secara teoritis belum tentu benar secara praktis, menimbang kapasitas dan kapabilitas (kemampuan) tiap orang dalam memahami al-Qur’an & Sunnah sangat berbeda-beda. Maka bisa dipastikan, kesimpulan pemahaman terhadap al-Qur’an atau Sunnah yang dihasilkan oleh seorang ‘alim yang menguasai Bahasa Arab dan segala ilmu yang menyangkut perangkat penafsiran atau ijtihad, akan jauh berbeda dengan kesimpulan pemahaman yang dihasilkan oleh orang awam yang mengandalkan buku-buku “terjemah” al-Qur’an atau Sunnah.
Itulah kenapa di zaman ini banyak sekali bermunculan aliran sesat. Jawabnya tentu karena masing- masing mereka berusaha kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah, dan mereka berupaya mengkajinya dengan kemampuan dan kapasitasnya sendiri. Bisa dibayangkan dan telah terbukti hasilnya, kesesatan yang dihasilkan oleh Yusman Roy (mantan petinju yang merintis sholatdengan bacaan yang diterjemah), Ahmad Mushadeq (mantan pengurus PBSI yang pernah mengaku nabi), Lia Eden (mantan perangkai bunga kering yang mengaku mendapat wahyu dari Jibril), Agus Imam Sholihin (orang awam yang mengaku tuhan), dan banyak lagi yang lainnya. Dan kesesatan mereka itu lahir dari sebab “Kembali kepada al- Qur’an dan Sunnah”, mereka merasa benar dengan caranya sendiri. Pada kaum Salafi & Wahabi, kesalahpahaman terhadap al- Qur’an dan Sunnah itu pun banyak terjadi, bahkan di kalangan mereka sendiri pun terjadi perbedaan pemahaman terhadap dalil. Dan yang terbesar adalah kesalahpahaman mereka terhadap dalil-dalil tentang bid’ah.
2. Al-Qur’an dan Sunnah sudah dibahas dan dikaji oleh para ulama terdahulu yang memiliki keahlian yang sangat mumpuni untuk melakukan hal itu, sebut saja: Ulama mazhab yang empat, para mufassiriin (ulama tafsir), muhadditsiin (ulama hadis), fuqahaa’ (ulama fiqih), ulama aqidah ahus-sunnah wal- Jama’ah, dan mutashawwifiin (ulama tasawuf/ akhlaq). Hasilnya, telah ditulis beribu-ribu jilid kitab dalam rangka menjelaskan kandungan al-Qur’an dan Sunnah secara gamblang dan terperinci, sebagai wujud kasih sayang mereka terhadap umat yang hidup dikemudian hari. Karya-karya besar itu merupakan pemahaman para ulama yang disebut di dalam al-Qur’an sebagai “ahludz- dzikr”, yang kemudian disampaikan kepada umat Islam secara turun-temurun dari generasi ke generasi secara berantai sampai saat ini.
Adalah sebuah keteledoran besar jika upaya orang belakangan dalam memahami Islam dengan cara “kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah” dilakukan tanpa merujuk pemahaman para ulama tersebut. Itulah yang dibudayakan oleh sebagian kaum Salafi Wahabi. Dan yang menjadi pangkal penyimpangan paham Salafi Wahabi sesungguhnya, adalah karena mereka memutus mata rantai amanah keilmuan mayoritas ulama dengan membatasi keabsahan sumber rujukan agama hanya sampai pada ulama salaf (yang hidup sampai abad ke-3 Hijriah), hal ini seperti yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah (hidup di abadke-8 H.) dan para pengikutnya. Bayangkan, berapa banyak ulama yang dicampakkan dan berapa banyak kitab-kitab yang dianggap sampahyang ada di antara abad ke-3 hingga abad ke-8 hijriyah.
Lebih parahnya lagi, dengan rantai yang terputus jauh, Ibnu Taimiyah dan kaum Salafi Wahabi pengikutnya seolah memproklamirkan diri sebagai pembawa ajaran ulama salaf yang murni, padahal yang mereka sampaikan hanyalah pemahaman mereka sendiri setelah merujuk langsung pendapat-pendap at ulama salaf. Bukankah yang lebih mengerti tentang pendapat ulama salaf adalah murid-murid mereka? Dan bukankah para murid ulama salaf itu kemudian menyampaikannya kepada murid- murid mereka lagi, dan hal itu terus berlanjut secara turun temurun dari generasi ke generasi baik lisan maupun tulisan? Bijaksanakah Ibnu Taimiyah dan pengikutnya ketika pemahaman agama dari ulama salaf yang sudah terpelihara dari abad ke abad itu tiba di hadapan mereka di abad mana mereka hidup, lalu mereka campakkan sebagai tanda tidak percaya, dan mereka lebih memilih untuk memahaminya langsung dari para ulama salaf tersebut? Sungguh, ini bukan saja tidak bijaksana, tetapi juga keteledoran besar, bila tidakingin disebut kebodohan. Jadi kaum Salafi Wahabibukan Cuma menggaungkan motto “kembali kepada al- Qur’an dan Sunnah” secara langsung, tetapi juga “kembali kepada pendapat para ulama salaf” secara langsung dengan cara dan pemahaman sendiri.
Mereka bagaikan orang yang ingin menghitung buah di atas pohon yang rindang tanpa memanjat, dan bagaikan orang yang mengamati matahari atau bulan dari bayangannya di permukaan air.
3. Para ulama telah menghidangkan penjelasan tentang al-Qur’an dan Sunnah di dalam kitab-kitab mereka kepada umat sebagai sebuah “hasiljadi”. Para ulama itu bukan saja telah memberi kemudahan kepada umat untuk dapat memahami agama dengan baik tanpa proses pengkajian atau penelitan yang rumit, tetapi juga telah menyediakan jalan keselamatan bagi umat agar terhindar dari pemahaman yang keliru terhadap al-Qur’an dan Sunnah yang sangat mungkin terjadi jika mereka lakukan pengkajian tanpa bekal yang mumpuni seperti yang dimiliki para ulama tersebut. Boleh dibilang, kemampuan yang dimiliki para ulama itu tak mungkin lagi bisa dicapai oleh orang setelahnya, terlebih di zaman ini, menimbang masa hidup mereka yang masih dekat dengan masa hidup Rasulullah Saw & para Shahabat yang tidak mungkin terulang, belum lagi keunggulan hafalan, penguasaan berbagai bidang ilmu, lingkungan yang shaleh, wara’ (kehati-hatian) , keikhlasan, keberkahan, dan lain sebagainya.
Pendek kata, para ulama seakan- akan telah menghidangkan “makanan siap saji” yang siap disantap oleh umat tanpa repot- repot meracik atau memasaknya terlebih dahulu, sebab para ulama tahu bahwa kemampuan meracik atau memasak itu tidak dimiliki setiap orang. Saat kaum Salafi & Wahabi mengajak umat untuk tidakmenikmati hidangan para ulama, dan mengalihkan mereka untuk langsung merujuk kepada al- Qur’an dan Sunnah dengan dalih pemurnian agama dari pencemaran “pendapat”manusia (ulama) yang tidak memiliki otoritas untuk menetapkan syari’at, berarti sama saja dengan menyuruh orang lapar untuk membuang hidangan yang siap disantapnya, lalu menyuruhnya menanam padi. Seandainya tidak demikian, mereka mengelabui umat dengan cara menyembunyikan figur ulama mayoritas yang mereka anggap telah “mencemarkan agama”, lalu menampilkan dan mempromosikan segelintir sosok ulama Salafi Wahabi beserta karya-karya mereka serta mengarahkan umat agar hanya mengambil pemahaman al-Qur’an dan Sunnah dari mereka saja dengan slogan “pemurnian agama”.
Sesungguhnya, “pencemaran” yang dilakukan para ulama yang shaleh dan ikhlas itu adalah upaya yang luar biasa untuk melindungi umat dari kesesatan, sedangkan “pemurnian” yang dilakukan oleh kaum Salafi Wahabi adalah penodaan terhadap ijtihad para ulama dan pencemaran terhadap al-Qur’an dan Sunnah. Dan pencemaran terbesar yang dilakukan oleh kaum Salafi Wahabi terhadap al-Qur’an dan Sunnah adalah saat mereka mengharamkan begitu banyak perkara yang tidak diharamkan oleh al-Qur’an dan Sunnah; saat mereka menyebutkan secara terperinci amalan-amalan yang mereka vonis sebagai bid’ah sesat atas nama Allah dan Rasulullah Saw., padahal Allah tidak pernah menyebutkannya di dalam al-Qur’an dan Rasulullah Saw. tidak pernah menyatakannya di dalam Sunnah (hadis)nya.
Dari uraian di atas, nyatalah bahwa orang yang “kembali kepada al- Qur’an dan Sunnah” itu belum tentu dapat dianggap benar, dan bahwa para ulama yang telah menulis ribuan jilid kitab tidak mengutarakan pendapat menurut hawa nafsu mereka. Amat ironis bila karya-karya para ulama yang jelas-jelas lebih mengerti tentang al-Qur’an dan Sunnah itu dituduh oleh kaum Salafi Wahabi sebagai kumpulan pendapat manusia yang tidak berdasar pada dalil, sementara kaum Salafi Wahabi sendiri yang jelas-jelas hanya memahami dalil secara harfiyah (tekstual) dengan sombongnya menyatakan diri sebagai orang yang paling sejalan dengan al-Qur’an dan Sunnah. Wallahu a’lam..