Salah satu dari sekian banyak anomaly (keganjilan, penyimpangan) wahabi adalah sikap taqlid mereka terhadap ulama mereka sendiri
yang ujung-ujungnya sama saja dengan fanatisme madzhab yang biasa
mereka cela. Aneh tapi nyata; mereka selalu lantang berkata anti taqlid
malah taqlid juga sama ulamanya. Sebagian dari mereka ada yang mengaku
bermadzhab Hambali, sebagian lagi malah menafikan keberadaan madzhab dan
seolah membuat madzhab baru, hanya sayangnya 'tidak laku'. Tidak jarang
sikap mereka ini ditutup-tutupi dengan gaya sok ilmiah. Dalil-dalil
bertaburan; ada dalil yang melenceng bukan pada tempatnya, ada pula
dalil yang benar penempatannya (dengan bahasan yang dimaksud) namun
tetap melenceng pemahamannya. Dan sering juga kita temukan dalil yang
mereka tujukan untuk 'menasehati' orang-orang yang diluar golongannya
tapi malah lebih cocok buat mereka sendiri - sebagai golongan sempalan
pemecah belah umat, sebagai 'pemaksa' persamaan ideologi.
Ada
contoh sederhana yang menggambarkan anomaly salafi palsu alias wahabi
ini, yaitu soal pernyataan salah satu pengikut wahabi - kalau Imam Syafi’iy tidak pernah membagi bid’ah ke dalam bid’ah hasanah dan bid’ah dhalalah (?). Ternyata, pengikut wahabi ini hanya taklid kepada Syaikh salafy Ali Al Halaby dan Salim Al Hilali. Syaikh Ali Al Halaby menyatakan kalau atsar Imam Syafi’i tersebut diriwayatkan oleh perawi yang majhul [‘Ilmu Ushuulil-Bida’ hal 121].
Seperti biasa, tulisan pengikut wahabi itu kemudian ramai dikutip atau
'dikupipes' (sering di copy paste) oleh banyak pengikut 'wahabiers' lainnya. Silahkan saja pembaca 'search' ala google untuk menemukan tulisan para salafiyun yang dimaksud.
Pernyataan Syaikh Ali Al Halaby tentang atsar Imam Syafi’i tersebut dhaif, karena dia beralasan bahwa ada perawi yang majhul.
Ini adalah mengada-ada dan hanya bisa mengecoh kaum salafy wahabi yang
gemar bertaklid (terbukti 'kan, bahwa mereka taklid juga ?). Padahal,
atsar Imam Syafi’i tersebut shahih tanpa keraguan !
حدثنا
أبو بكر الآجري حدثنا عبد الله بن محمد العطشي حدثنا إبراهيم بن الجنيد
حدثنا حرملة بن يحيى قال سمعت محمد بن إدريس الشافعي يقول البدعة بدعتان،
بدعة محمودة، وبدعة مذمومة. فما وافق السنة فهو محمود، وما خالف السنة فهو
مذموم واحتج بقول عمر بن الخطاب في قيام رمضان نعمت البدعة هي
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Al Ajurriy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad Al ‘Athsyiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Junaid yang berkata telah menceritakan kepada kami Harmalah bin Yahya
yang berkata aku mendengar Muhammad bin Idris Asy Syafi’i berkata
“bid’ah itu ada dua, bid’ah mahmudah [terpuji] dan bid’ah madzmu’ah
[tercela]. Apa saja yang bersesuaian dengan sunnah maka ia terpuji dan
apa saja yang bertentangan dengan sunnah maka ia tercela. Dan ia
[syafi’i] berhujjah dengan perkataan Umar bin Khattab tentang shalat
malam di bulan ramadhan “ini adalah sebaik-baik bid’ah” [Hilyatul Auliya Abu Nu’aim 9/113]
Atsar ini sanadnya hasan, para perawinya terpercaya kecuali Abdullah bin Muhammad Al ‘Athasyiy, dia seorang yang 'shaduq hasanul hadits'. Tidak ada yang mencacatnya dan telah meriwayatkan darinya sekumpulan perawi tsiqat.
- Abu Bakar Al Ajurry atau Muhammad bin Husain bin ‘Abdullah Al Baghdadi penulis kitab Asy Syari’ah adalah seorang yang tsiqat. Adz Dzahabi menyebutnya Al Imam Al Muhaddis Al Qudwah, Al Khatib berkata “tsiqat” [Tadzkirah Al Huffazh 12/40 no 888].
- Abdullah bin Muhammad Al ‘Athasyiy seorang yang shaduq hasanul hadis. Al Khatib telah menyebutkan biografinya dalam Tarikh Baghdad tanpa menyebutkan jarh dan ta’dil tetapi disebutkan bahwa telah meriwayatkan darinya Abu Bakar Muhammad bin Husain Al Ajurry, Ibnu Syahin dan Yusuf bin Umar Al Qawwas [Tarikh Baghdad 10/115-116 no 5239]. Al Ajurri adalah seorang yang tsiqat sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Ibnu Syahin atau Umar bin Ahmad Abu Hafsh disebutkan oleh Al Khatib kalau ia seorang yang tsiqat [Tarikh Baghdad 11/264 no 6028]. Yusuf bin Umar Al Qawwas disebutkan oleh Adz Dzahabi kalau ia adalah seorang Imam Muhaddis yang tsiqat [As Siyar 16/474 no 351]. Sejumlah perawi tsiqat telah meriwayatkan hadisnya dan tidak ada satupun yang menjarah atau mencacatnya maka kedudukan hadisnya adalah hasan.
- Ibrahim bin Junaid adalah Ibrahim bin ‘Abdullah bin Junaid, biografinya disebutkan oleh Al Khatib dan ia menyatakan Ibrahim bin Abdullah bin Junaid tsiqat [Tarikh Baghdad 6/119 no 3150].
- Harmalah bin Yahya adalah seorang yang tsiqat. Al Uqaili menyatakan ia tsiqat, Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 2 no 426]. Ibnu Hajar menyatakan ia shaduq [At Taqrib 1/195].
Selain atsar riwayat Abu Nu’aim di atas perkataan Imam Syafi’i juga telah diriwayatkan dengan sanad yang shahih oleh Baihaqi dalam Manaqib Asy Syafi’iy dan Madkhal Ila Sunan Al Kubra
dengan jalan dari Muhammad bin Musa bin Fadhl Abu Sa’id bin Abi Amru
dari Abul Abbas Al Asham dari Rabi’ bin Sulaiman dari Imam Syafi’iy.
أخبرنا
أبو سعيد بن أبي عمرو ثنا أبو العباس محمد بن يعقوب ثنا الربيع بن سليمان
قال قال الشافعي رضي الله عنه المحدثات من الأمور ضربان أحدهما ما أحدث
يخالف كتاباً أو سنة أو أثراً أو إجماعاً فهذه لبدعة الضلالة والثانية ما
أحدث من الخير لا خلاف فيه لواحد من هذا فهذه محدثة غير مذمومة
Telah
mengabarkan kepada kami Abu Sa’id bin Abi Amru yang berkata telah
menceritakan kepada kami Abul Abbas Muhammad bin Ya’qub yang berkata
telah menceritakan kepada kami Rabi’ bin Sulaiman yang berkata Syafii
berkata “perkara-perkara baru yang diada-adakan itu ada dua, pertama
yaitu apa-apa saja yang bertentangan dengan kitab Allah atau sunnah atau
atsar atau ijma’ maka ini bid’ah dhalalah. Dan yang kedua yaitu apa-apa
saja yang di dalamnya kebaikan tidak bertentangan dengan apa saja yang
telah disebutkan [kitab Allah, sunah, atsar dan ijma’] maka inilah
bid’ah yang tidak tercela [Madkhal Ila Sunan Kubra 1/206].
Atsar
di atas juga diriwayatkan oleh Baihaqi dalam Manaqib Asy Syafi’i
1/468-469 dengan sanad yang sama yaitu dari Muhammad bin Musa bin Fadhl
dari Al Asham dari Rabi’ dari Imam Syafi’iy. Syaikh Salim Al Hilali dan
Syaikh Ali Al Halabi mencacatkan atsar ini karena menurut mereka
Muhammad bin Musa bin Fadhl seorang yang majhul tidak ditemukan
biografinya. Pernyataan kedua ulama salafy ini jelas salah besar, atsar
di atas shahih dan berikut keterangan mengenai para perawinya :
- Abu Sa’id bin Abi Amru adalah Muhammad bin Musa bin Fadhl Ash Shayrafiy seorang Syaikh yang tsiqat. Adz Dzahabi telah menyebutkan biografinya dalam As Siyar seraya berkata “Syaikh tsiqat ma’mun” [As Siyar 17/350 no 218]. As Safadi juga menyebutkan biografinya dan menyatakan ia tsiqat [Al Wafi 5/59]. Disebutkan kalau ia mendengar hadis dari Abul Abbas Al Asham dan ia telah dikenal sebagai Syaikh [gurunya] Baihaqi [Mausu’ah Rijal Sunan Baihaqi no 154]. Jadi sungguh aneh sekali kalau dua ulama besar salafy mengaku tidak menemukan biografinya.
- Abul Abbas Muhammad bin Ya’qub bin Yusuf yang dikenal dengan Al ‘Asham. Adz Dzahabi menyebutnya Al Imam Al Muhaddis. Al Hakim menukil dari Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah, Abu Nu’aim bin Adiy dan Ibnu Abi Hatim bahwa Al ‘Asham seorang yang tsiqat [As Siyar 15/452-458 no 258].
- Rabi’ bin Sulaiman adalah seorang yang tsiqat sahabat imam Syafi’i. Dia adalah salah satu Syaikh [gurunya] Nasa’i dimana Nasa’i berkata “tidak ada masalah padanya”. Ibnu Yunus dan Al Khatib menyatakan ia tsiqat. Ibnu Abi Hatim menyatakan ia shaduq tsiqat. Abu Hatim berkata “shaduq”. Al Khalili berkata “disepakati tsiqat” [At Tahdzib juz 3 no 473]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/294].
Jadi
atsar Imam Syafi’i tentang bid’ah hasanah adalah shahih tanpa adanya
keraguan dan ini membuktikan kejahilan salafy wahabi dan pengikutnya
yang gemar bertaklid tanpa meneliti apakah yang dinyatakan oleh ulama
mereka itu benar atau tidak. Beberapa situs salafy mengalami kebingungan
soal bid’ah hasanah, mereka berkata kalau memang ada bid’ah hasanah
maka bagaimanakah batasannya?. Aneh, padahal telah jelas sekali batasan
yang diberikan Imam Syafi’i, jika perkara baru itu sesuai dengan
kitabullah dan Sunah Nabiyullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam maka itulah
bid’ah hasanah.
Pengikut salafy juga berdalil dengan hadis Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang mengatakan bahwa setiap bid’ah itu sesat.
Cara pendalilan salafy ini tidak benar karena bid’ah yang dimaksud
dalam hadis Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tersebut adalah bid’ah
yang bersifat syar’i yaitu yang tidak memiliki landasan hukum dari
kitabullah dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sedangkan yang
memiliki landasan hukum dari kitabullah dan Sunnah Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wasallam maka bid’ah seperti ini bukan bid’ah syar’i tetapi
dikembalikan kepada makna bid’ah lughawi [secara bahasa]. Inilah yang
disebut Imam Syafi’i dengan bid’ah yang terpuji atau bid’ah hasanah.
Aneh
bin ajaib, salafy dan pengikutnya tidak pernah sadar diri. Justru
merekalah yang kebingungan atau mengalami dilema dalam menyikapi
berbagai hal baru atau bid’ah yang dibuat oleh para sahabat. Seperti
misalnya pembukuan Al Qur’an yang jelas-jelas dikatakan oleh Abu Bakar
ra dan Umar ra kalau hal itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah
Shallallahu Aalaihi Wasallam. Atau pelarangan haji tamattu oleh Umar,
atau adzan kedua dalam shalat jum’at oleh Utsman bin ‘Affan. Kalau
memang semua bid’ah itu sesat maka apa yang akan mereka katakan kepada
ketiga sahabat Nabi Shallallalhu ‘Alaihi Wasallam
No comments:
Post a Comment